[Review] Dua Garis Biru


Melihat foto di atas, pasti kalian sudah tidak asing lagi ‘kan dengan cerita ini? Buku dan filmnya lagi sangat booming dan bahkan mungkin menjadi penjualan yang best seller. Ada yang sudah baca buku ini? Aku baru saja menyelesaikannya dan diriku kegatalan untuk segera review buku ini. Aku baru baca bukunya, ya! Tapi, boleh dong bagi kalian yang sudah menonton filmnya, berbagi pengalaman denganku.

Judul : Dua Garis Biru
Karya : Gina S. Noer (Penulis scenario) – Lucia Priandarini (Penulis novel)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2019
Tebal : 206
Harga : P. Jawa – Rp. 59.000

[Blurb]

Dara, gadis pintar kesayangan guru, dan Bima, murid santai yang cenderdung masa bodoh, menyadari bahwa mereka bukan pasangan sempurna. Tetapi perbedaan justru membuat keduanya bahagia menciptakan dunia mereka sendiri. Dunia tidak sempurna tempat mereka saling menertawakan kebodohan dan menerbangkan mimpi.

Namun suatu waktu, kenyamanan membuat mereka melanggar batas. Satu kesalahan dengan konsekuensi besar yang baru disadari kemudian. Kesalahan yang selamanya akan mengubah hidup mereka dan orang-orang yang mereka sayangi.

Di usia 17, mereka harus memilih memperjuangkan masa depan atau kehidupan lain yang tiba-tiba hadir. Cinta sederhana saja ternyata tak cukup. Kenyataan dan harapan keluarga membuat Bima dan Dara semakin terdesak ke persimpangan, siap menjalani bersama atau melangkah pergi ke dua arah berbeda.

----------

Membaca dari blurbnya saja, kita sudah bisa menebak ada kisah yang menyimpang di hubungan Dara dan Bima. Ini memang sedang marak terjadi di Indonesia seakan sudah menjadi tren pacaran di zaman sekarang. Kisah yang diangkat pun sangat realita tanpa merasa unsur fiksi di dalamnya. Seakan-akan, itu memang nyata terjadi.

Sebelum membahas lebih dalam, aku mau memberi gambaran kedua sosok utama dan pemeran lainnya di dalam buku ini.

Pertama, ada sosok Dara. Gadis ini memiliki cita-cita yang sangat tinggi yang wajar akan dimiliki olehnya karena keluarganya sangat menomorsatukan masa depan dan impian. Sosok Dara memiliki sedikit sikap egois (menurutku ini, ya!) karena ia ingin cita-citanya terwujudkan bagaimana pun caranya. Termasuk harus melepaskan apa yang sudah ia miliki.

Kedua, Bima. Pria ini sangat polos dan apa adanya. Walaupun ia berpacaran dengan orang kaya, dia tetap bersikap seperti dirinya sendiri. Ia tidak mencoba menyamai seperti Dara, begitu pun sebaliknya. Di akhir cerita, aku mendapatkan sosok Bima yang sangat dewasa dan aku suka cara berpikirnya itu.

Ketiga dan keempat, Papa Dara dan Bapak Bim. Kenapa digabung? Karena aku merasa sikap mereka hampir sama. Kedua pria ini memiliki peran tegas di keluarganya, namun Papa Dara lebih bersikap kepala dingin sama apa yang dialami oleh anaknya walaupun ia sebenarnya kecewa. Sedangkan Bapak Bima, ia lebih bijaksana dan mendukung segala yang dipilih anaknya.

Kelima, Mama Dara. Di sini sosok Mama Dara adalah orang yang sangat modern dan terlalu egois menurutku. Ia rela cucunya diapalah-apalah karena tidak mau anaknya yang pandai itu tidak masuk kuliah S1 dan S2. Agak emosional sehingga aku saat baca di bagian Mama Dara ini, agak kesal sendiri. Tapi sebenarnya, Mama Dara ini orang yang sangat lembut. Ia bersikap sedemikian rupa karena ia kecewa terhadap anaknya dan juga pacar anaknya yang ia pikir baik-baik saja.

Keenam, Ibu Bima. Sosok Ibu Bima ini sangatlah blak-blakan dan dia suka emosi jika anaknya ditindas. Apa lagi bersangkut paut sama cucunya. Ibu Bima di sini banyak peran adil untuk sosok bayi mungil yang belum ia tahu wujud aslinya itu. Ia terus memperjuangkan cucunya. Sifanya pun sangat dewasa tidak seperti Mama Dara.

----------

Menurut aku, alur cerita di novel ini sangat cepat. Di setiap babnya hanya 3-5 lembar saja. Memang ceritanya terasa komplek, namun terasa terburu gitu. Ide cerita yang diangkat sangatlah menarik. Namun, aku sempat bertanya gini, “Kenapa judulnya dua garis biru?”. Kenapa aku bisa bertanya seperti itu? Karena garis yang ada di tes pack pada umumnya berwarna merah. Semakin dalam membaca, oh … ternya itu toh maksudnya. Sempat ketawa juga sih. Geli atas kepolosannya.

Saat pertama membacanya, aku suka gitu sosok Dara yang enggak masalah dengan kebodohan Bima. Namun, kesalahan mereka membuat semuanya kacau. Mereka yang awalnya terlihat romantis, menjadi renggang dan bahkan hancur. Bahkan, aku pun ikut hancur saat membacanya. Miris banget gitu menurut aku.

Aku enggak nyangka pergaulan dekat mereka bisa membuahkan hasil seperti itu. Walaupun hanya coba sekali, tetap saja itu salah! Jika dilihat dengan kacamata jeli, kisah ini memang sering terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Awalnya kenalan, dekatan, pacaran atau bahkan ada yang enggak pacaran, diajak ke rumah atau di mana lah yang menurut mereka aman, terus bla-blasan deh. Sekali, dua kali, bahkan sudah keseringan. Ada yang jeli melakukannya, ada yang pemula dan awam. Yang jeli tidak akan mengakibatkan hal yang aneh, sedangkan yang pemula dan awam pasti membuahkan hasil yang mengejutkan. Tapi jangan salah, yang jeli pun bisa jadi mendapatkan ujian dari Tuhan.
Namun yang aku suka dari cerita ini, penulisnya mengajak kita berpikir dengan baik dan bisa dicontoh oleh masyarakat yang sudah keblablasan. Kita sering melihat berita berjudul, “Seorang bayi dibuang yang diduga dari hasil hubungan gelap.” Bukan hanya itu, ada juga judul, “Seorang bayi tewas dibunuh karena tidak sanggup membiayai kehidupannya.” Miris sekali bukan? Di saat orang lain mengharapkan anak, di sisi lain ada sepasang kekasih yang melakukan hal keji itu.

Jadi, di cerita ini kita bisa tahu, walaupun tidak bersama, setidaknya tidak membunuh bayi yang tidak bersalah itu. Kebersamaan tidak selalu membuat kita bahagia, tapi tidak membunuh dan membuangnya, membuat kita menutup satu dosa yang sangat besar.

Aku sedikit kesal dengan sikap Mama Dara dan juga Dara. Hanya saja, aku anggap hal itu sangat normal. Mungkin, kalau aku di umur Dara dan memiliki pengetahuan rumah tangga dan hamil yang minim, dengan impian yang membeludak, bisa saja aku seegois Dara. Hanya saja, ia menjalankan kembali keputusan awalnya. Itu sudah cukup baik dari pada perencanaan yang jahat itu. Aku paling suka sifat Bima di akhir cerita. Ia sangat dewasa di beberapa bulan itu sehingga ia merelakan Dara dan berusaha mampu mengasuh anaknya sendiri dengan kecukupannya sendiri.

----------

Aku hanya baru membaca bukunya saja, belum menontonya filmnya. Sejauh ini, aku tidak kecewa dengan cerita ini. Hanya saja menurutku terlalu monoton dan terburu-buru. Selebihnya aku suka. Tapi, kalau aku sudah menonton filmnya, aku enggak tahu masih suka bukunya, atau bahkan suka keduanya. Kalau suatu saat aku sudah menonton filmnya, aku akan review lagi.

Sejauh ini, aku tidak menyesal dan kecewa membeli buku ini. Dan karena aku tidak mendapat typo beserta kecacatan tulisan dan tanda baca, so, aku enggak bahas yang itu ya say πŸ˜‰

Sukses terus untuk Kak Gina S. Noer dan Kak Lucia Priandarini. Semoga bisa melahirkan karya yang kembali menggemparkan. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam saya me-review buku ini. Salam, Nadyr πŸ™.

Komentar

  1. Aku belum nonton atau baca bukunya. Baru ngeh ternyata ini diangkat dr novel ya film nya..

    Btw mba, mau saran aja, kalau mau menceritakan bagian akhir kaya "Aku paling suka sifat Bima di akhir cerita. Ia sangat dewasa di beberapa bulan itu sehingga ia merelakan Dara dan berusaha mampu mengasuh anaknya sendiri dengan kecukupannya sendiri.", mungkin sebelumnya bisa ditambahkan SPOILER ALERT dulu 😁 mencegah yg belum baca bukunya ga tau duluan ending nya kaya gimana.. hehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf. Ada ending lain yang terselip di sana yang tidak saya umbar πŸ™.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] Panggung Shakespeare

[Review] Cari Cinta

[Review] The Great Muslimah