[Review] Serdadu dari Neraka

Dear pembaca,
Jika kalian mendengar Aceh, apa yang terlintas di pikiran kalian? Dan jika kalian mendengar nama Arafat Nur, apa yang kalian pikirkan?

Aceh untukku adalah tempat aku lahir. Tempat di mana aku menghabiskan hariku, menuntut ilmu, dan mencari banyak pengalaman hidup. Namun, mengingat tragedi tahun 2004 silam, hatiku terluka. Walaupun aku bukan salah satu korban terjangan Tsunami, namun aku tetap trauma dengan gempa dan jeritan orang saat kejadian itu tiba.

Ada hal lain yang membuat aku sedih. Perang Aceh yang memakan korban jiwa yang begitu besar. Walaupun masa itu aku belum lahir atau aku masih kecil, namun mendengar kisah lama dari Mama dan Ayah beserta guru dan buku, hatiku remuk. Sedikit bersyukur karena aku besar dalam keadaan Aceh damai.

Buku ini tidak memiliki blurb, tapi aku tetap akan kenalkan identitas terkecil dari buku ini.


Judul : Serdadu dari Neraka
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Diva Press
Tahun terbit : 2019
Tebal : 175 halaman
Harga : P. Jawa – Rp. 60.000,00

Serdadu dari Neraka. Membaca judulnya saja kita sudah berpikir ada banyak karakter orang jahat penghuni neraka kelak di dalam buku ini. Sebelum aku kenalkan lebih dalam tentang buku cerpen ini, apa yang kalian pikirkan jika kalian melihat judul buku seperti ini? Apakah kalian berpikir banyak pertumpahan darah di buku ini? Atau … seperti apa?

Serdadu dari Neraka salah satu judul cerpen yang ada di buku ini. Ada 17 cerpen di dalam sana dengan judul yang amat menari. Serdadu dari Neraka ini judul cerpen ketiga dalam cerpen ini. Selain Serdadu dari Neraka, ada beberapa judul cerpen yang hampir sama dengan hidup yang aku alami. Walaupun jaman perang sudah berakhir, namun keadaannya masih sama. Hanya saja pemerkosaan sudah lumayan berkurang. Ah, jangan salah sangka, aku bukan korban pemerkosaan. Namun korban lainnya yang keadaannya sama namun penyebabnya berbeda.

Lantas, apa isi mendalam dari buku ini?




Buku cerpen ini dimulai dengan kisah Rompak yang di Aceh sekarang aku mengenalnya dengan sebutan Panglima. Di sana menceritakan bahwa ada kitab yang amat berbahaya (katanya). Entahlah ini fiksi atau kisah nyata, namun aku merasakan hal nyata saat membaca cerita ini. Kenapa aku merasa seperti membaca kisah nyata? Karena warga Aceh sudah biasa dengan ramalan dunia. Mulai dari terjangan Tsunami, kepemimpinan, apa saja yang akan dialami Aceh, semua sudah sering didengar dengan referensi yang katanya dari kitab nomor 1 di Aceh yang tidak bisa dibuka dan dibaca oleh siapa pun sampai saat ini.

Setiap cerita di dalam buku ini membuat aku tahu keadaan Aceh masa di mana aku belum dilahirkan. Ah, apa sih kejadian yang sama denganku? Tentang kerasukan, dukun, tabib, dan segala macamnya. Aku sering kerasukan, dan aku pernah diobatkan oleh dukun yang aku tidak tahu apakah benar atau tidak. Namun semakin ke sini, apa yang dikatakan Opung Arruddin benar adanya. Apa yang dikatakan Opung? Kalian akan mendapatkannya jika kalian membacanya.

Di buku ini sangat menjelaskan watak Aceh jaman dulu yang mungkin sekarang masih ada. Cerita ini berlatar Aceh Utara yang kini sudah pecah menjadi Lhoksemawe, Bireun, Pijay, dan Pidie. Aku tidak terlalu tahu Kabupaten apa dalam kisah ini. Namun aku sungguh tidak asing dengan nama kampung di buku ini. Antara Pidie dan Bireun mungkin? Intinya, di sana sangat menjelaskan watak orang Aceh yang bercampur dengan pemberontakan jaman itu.




Cerpen ini bisa aku katakan ibarat novel. Kenapa demikian? Karena isi di dalam buku ini setiap cerpen per cerpen sangat berkesinambungan. Seperti kisah rompak dan serdadu yang katanya dari neraka karena kejam bak iblis penghuni neraka. Lantas sambung dengan seorang pria bernama Manek yang kejam bersambung makin menyambung dengan cerita lainnya. Juga kisah dukun dan tabib yang amat terkenal di desa tersebut. Kalian yang membaca tidak akan ketinggalan ending dari maksud yang sebenarnya dari buku ini.

Tidak ada komen dalam buku dari penulis nomor satu di Aceh ini. Setiap kata yang digunakan sangat indah sampai-sampai kita lupa yang kita baca saat ini adalah cerpen bukan syair. Namun karakter tulisannya tidak membuat kita bosan walaupun hanya sebatas membaca cerpen.

Bintang untuk buku ini:
🌟 8,5/10

Terima kasih Penerbit Diva Press dan Bapak Arafat Nur sudah memberi saya kesempatan membaca buku yang hebat ini. Andai saya diberi kesempatan untuk bicara banyak dengan Bapak perihal penelitian saya untuk novel yang tak pernah saya mulai karena rumit dalam kisah sejaranya, saya amat bahagia. Sukses terus untuk Penerbit Diva Press dan Pak Arafat. Salam, Nadir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] Panggung Shakespeare

[Review] Cari Cinta

[Review] The Great Muslimah